Sunday, December 28, 2008

solilokui: celetukan dari segelas kopi buatan Pak Ja'i

* tulisan lama yg sempet menghilang)

Kita tidak sedang di Lochness, sebuah danau yang legenda di bibir Invernes. Matahari yang mengintip dari jendela-jendela kastil tua, tidak bisa memecah kesunyian. Atau operet2 yang ditawarkan kepada turis disaat musim liburan dan dingin yang menggigit tulang hanya menambahkan misteri yang tak pernah terjawab tentang "Nessie". Ini tidak juga terjadi di Tijuana. Pagar betis berlapis dipinggir California. Yang hanya 40 menit dari Little Italy, 5 USD diatas San Diego Trolley, tempat orang berkacak pandang. Kadang terdengar cerocosan bahasa mexicano yg begitu asing. Hmm, inikah bangsa yg pernah mengagetkan dunia dengan tim sepak bolanya di Piala Dunia di Amerika dulu?. Tapi kali ini tidak terjadi disana, sayang.

Bukan segelas capuccino dari Starbucks Cafe yang mengepul di depan meja kerjaku. Bukan pula latee bervanila diantara design yang cozy di Coffee Bean. Hanya nescafe dan cream ringan saja yang dibuatkan oleh Pak Suja'i, Janitor setiaku selama 6 tahun ini. Selalu dengan style yang "cool", topi hitam berlabel "Rochem" dan baju yang selalu dikeluarkan, tanpa senyum, tanpa kata-kata. Yang membuatku kagum, wangi kopi krim buatannya selalu sama, warnanya pun tak pernah beda. Selalu kopi yg cukup, cream yang sedang, dan manis yang sama. Tak pernah berubah.

Ini memang tidak sedang di televisi. Diantara sinetron kejar tayang dilakoni yang oleh model pas-pas-an. Atau berita quick count yang diprotes KPU. Sampai tinta pemilu disinyalir palsu. hm, jangan heran ini Indonesia bung! Sobatku memencet tombol playstation, kelihatannya sebal karena jagonya di pemilu kalah telak. Dalam hitungan menit kami sudah tenggelam dalam permainan di kotak kaca. Bola-bola bergulir. Kesana kemari. Ada tombol dipencet. Bahasa tubuh sobatku mengikuti gerak bola. Gooll!! teriakan diselingi tawa, kami seperti menyulap malam di dalam kedua jempol tangan. Ada dua gelas kopi krim menemani. Beda rasa. Beda warna. Beda manisnya dengan buatan Pak Ja'i.

Kali ini kita sedang ada di shop mekanik. Sebuah ruang pribadi yang kusebut "Ruang Mekanik". Tempat para pecinta oli mencuri waktu diantara deru turbin. Pagi mulai semakin tua. Safety meeting belum dimulai. Mekanik sudah berkumpul di library. Mulai ada celetukan2 ringan disana. Kumasuki ruang kerjaku sebentar. Kulirik kesana kemari. Belum ada kepulan kopi krim di mejaku. Masih gelas yang kosong diantara tumpukan kertas dan buku-buku yang nggak jelas. Dalam kelebatan detik Pak Suja'i sudah berdiri dihadapanku. Diulurkan tangannya. Kugenggam. Dia berkata. Maafkan saya bila selama ini punya salah, Pak. Saya habis, kena pengurangan.

Duh. Jrenngg!!. Ini sedang terjadi disini. Bukan di halaman-halaman novel picisan atau fiksi yang meledak dipasaran. Didepanku Pak Ja'i. Maafkan saya juga Pak Ja'i. Tak bisa aku berkata lebih. Ia tersenyum kecut. Seperti kubaca pertanyaan di matanya yang berkaca-kaca," Apakah hidup adalah kesetiaan terhadap waktu, Pak?". Lalu ia pergi. Tanpa pesan. Dalam kelebatan tak terlihat lagi bayangnya. Aku diam. Pagi menjadi beku. Langkah gontainya membuka jejak ingatanku akan tulisan di website pribadi bidadariku," Life is only traveled once, it is the scaterred joys that we pick,along the way that really matter, the gift of life is life itself."

Kesekejapan yang sangat berharga katanya. Diantara gelas kosong sisa kopi krim buatan Pak Ja'i kemaren. Dan ini terjadi disini.

Muara Badak, 2004
triwibowo

No comments: